Bagaimana aku bisa bersyukur atas hidupku sendiri di dunia ini, sedangkan aku tidak pernah diberi kebahagiaan di hari ulang tahunku sendiri? Jujur, aku benci ulang tahunku sendiri. Aku benci perayaan. Bahkan, aku sempat berdoa, agar hari ini menjadi hari ulang tahunku yang TERAKHIR.

Pernah nggak sih, kamu menemukan dirimu duduk sendirian di sebuah kafe atau restoran, lalu tiba-tiba kamu mendengar ada nyanyian selamat ulang tahun' beserta kue yang cantik dan tepuk tangan yang meriah? Pemandangan yang hangat, menyenangkan, tapi di sisi lain juga mengingatkan aku akan kesepian yang kualami.

Ketika orang lain merayakan tahun baru bersama para sahabatnya, aku justru tidur sendirian dalam kamar sambil melihat posting-an orang-orang di media sosial. Ketika orang lain menggerutu karena banyaknya justru berkali-kali menyalakan ponsel dengan harapan seseorang mengingat hari kelahiranku dan cukup peduli untuk mengucapkan selamat. Ketika orang lain merayakan kenaikan kelasnya dengan berlibur bersama keluarga, aku justru sendirian di rumah, bermain, dan melakukan aktivitas apa pun seorang diri.

Tapi mengapa aku harus bersedih? Bukankah semua ini sudah biasa kualami sejak kecil, melakukan semua-nya, termasuk merayakan keberhasilan dan meratapi kegagalan sendirian?

Apa yang kamu rasakan ketika melihat cover ini? Sedih? Hampa? Marah? 

Jika iya, bukan kebetulan kita bertemu melalui buku ini. Bukan kamu yang menemukan aku, tapi aku yang menemukan kamu. Buku ini akan jadi rumah yang siap menemani sepi dan memelukmu ketika orang lain sibuk menghakimi.

Sekarang, bersediakah kamu berteduh sejenak di rumah ini melepaskan luka dan beban pikiran terpendam dari keluarga?